CHAPTER 5 & 6 - PROCESS COSTING
A. KONSEP DASAR DAN KARAKTERISTIK TERKAIT METODE PROSES
Dalam insutri mie
instan sebagai ilustri, proses produksi antara mie instan dan bumbu-bumbu
dilakukan secara parallel. Proses produksi dilakukan di dua departemen, yaitu
departemen pencampuran dan departemen pengolahan. Skema proses produksi dimulai
di departemen pencampuran, yang mana bahan berupa tepung terigu, telur,
mentega, dan bahan lainnya di tambahkan dan dicampur. Biaya tenaga kerja dan
biaya overhead pabrik juga dibebankan di departemen pencampuran. Selanjutnya
setelah selesai diperoses di departemen pencampuran produsk di transfer ke
departemen pengolahan, yang mana terdapat penambahan biaya bahan, biaya tenaga
kerja, dan biaya overhead pabrik. Pada waktu bersamaan, proses produksi untuk
bumbu-bumbu di lakukan di dua departemen, yaitu departemen penggilingan dan
departemen pengepakan. Skema proses produksi dimulai di departemen
penggilingan, yang mana seluruh bahan yang merupakan bahan-bahan racikan di
tambahkan dan di olah. Biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik juga
dibebankan di departemen penggilingan ini. Selanjutnya, setelah selesai
diproses di departemen penggilingan, produsk di transfer ke departemen,
pengepakan, yang mana terdapat penambahan biaya bahan, biaya tenaga kerja, dan
biaya overhead pabrik. setelah masing-masing proses produksi yang dilakukan secara
bersamaan ini di selesaikan, produk-produk yang dihasilkan kemudian di transfer
ke departemen pembungkusan untuk di kemas menjadi satu.
Biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik juga dibebankan di departemen
pembungkusan ini. Produk yang telah selesai di proses di departemen
pembungkusan, selanjunya di transfer ke gudang produk jadi. Hal ini produk
tersebut siap di jual ke pelanggan.
2. Perusahaan berproduksi secara mass production
Perusahaan yang hendak menerapkan metode Process Costing hendaknya merupakan jenis perusahaan yang menghasilkan produk akhir dalam jumlah yang besar. Produk akhir dalam jumlah yang besar akan mengakibatkan sulitnya proses pembebanan biaya produksi secara lebih akurat. Berbeda dengan metode Job Order Costing, sedikitnya barang produksi yang dihasilkan berakibat pada mudahnya proses pembebanan biaya produksi ke produk akhir. Akan sangat tidak memungkinkan untuk secara langsung satu-persatu membebankan biaya produksi ke setiap item barang ketika proses produksinya dilakukan secara kontinyu dan dalam jumlah yang sangat besar.
3. Barang produksi yang dihasilkan memiliki sifat/karakteristik yang sama
Selain proses produksi yang kontinyu dan sangat banyaknya barang yang dihasilkan, karakteristik perusahaan yang akan menerapkan process costing adalah bahwa barang yang dihasilkan harus memiliki sifat, karakteristik atau spesifikasi yang sama atau identik. Antara barang yang satu dengan barang yang lainnya tidak memiliki perbedaan sama sekali. Hal ini berbeda dengan metode Job Order Costing dimana produk yang dihasilkan berbeda antara satu dengan yang lainnya, yang disebabkan karena adanya kustomisasi produk atas permintaan dari konsumen. Dalam metode process costing ini, perusahaanlah yang menentukan spesifikasi dan bentuk barang yang akan dihasilkan, dan bukannya konsumen. Dengan demikian, perusahaan akan membuat barangnya dalam jumlah yang besar untuk produk yang sama. Sebagai akibatnya, akan sangat sulit bagi perusahaan untuk membebankan biaya produksi secara langsung untuk masing-masing item perunit spesifik barang yang dihasilkan.
4. Pembebanan biaya secara tidak langsung melalui departemen.
Berbeda dengan metode job order costing, dalam metode process costing biaya produksi tidak dibebankan secara langsung kepada produk akhir. Dalam job order costing, dari awal seluruh input sudah dicatat dan didedikasikan untuk satu unit barang atau satu pesanan tertentu yang spesifik. Berbeda dengan hal itu, process costing tidak akan memberikan tanda khusus pada unit barang yang akan dihasilkannya. Dengan demikian, pembebanan secara langsung ke setiap item produk tidak akan dapat dilakukan. Hal tersebut tidak berarti bahwa kemudian biaya produksinya tidak dibebankan kepada produk akhir. Biaya produksi tetap harus dibebankan ke produk yang dihasilkan, tetapi dengan cara yang berbeda. Metode process costing akan mengumpulkan biaya produksi yang dikeluarkan ke setiap departemen produksi terlebih dahulu. Selanjutnya, biaya produksi dari setiap deprtemen produksi tersebut akan dibebankan kepada unit barang yang dihasilkan oleh setiap departemen tersebut.
Contoh perusahaan yang dapat menerapkan metode process costing adalah perusahaan garmen, yang menghasilkan pakaian jadi untuk dijual kepada para konsumen. Misalkan saja perusahaan pakaian X. Perusahaan ini akan membuat pakaian dengan model-model tertentu secara masal untuk dijual kepada konsumen. Perusahaan X tidak akan menandai produknya yang dijual di pasaran berdasarkan suatu pesanan tertentu dari konsumen tertentu.
sumber :
Kurniawan, didik. 2017. Buku Ajar Akuntansi Biaya. Tangerang Selatan. PKN STAN.
Carter, william. 2005. Cost Accounting. - . Salemba Empat.
Cak Yan. (2017, Februari). Sistem Perhitungan Biaya Berdasarkan Proses. Diakses tanggal 10 Oktober 2018 dari http://catatanpemulungilmu.blogspot.com/2017/02/sistem-perhitungan-biaya-berdasarkan.html
Novi Octapiani. (2011). Bab 5. Sistem Harga Pokok Proses FIFO. Diakses tanggal 10 Oktober 2018 dari http://www.academia.edu/34877407/Bab_5._Sistem_Harga_Pokok_Proses-FIFO
Tujuan penting dari sistem perhitungan biaya manapun adalah untuk menentukan biaya dari barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan. Dalam sistem perhitungan biaya berdasarkan pesanan (job order costing), produk dipertanggungjawabkan dalam batch. Setiap batch diperlakukan sebagai pesanan yang terpisah, dan pesanan tersebut merupakan objek biayanya. Semua biaya yang terjadi dalam memproduksi suatu pesanan dibebankan ke kartu biaya pesanan dari pesanan tersebut. Jika pekerjaan untuk suatu pesanan dilakukan di lebih dari satu departemen atau jenis pusat biaya (cost center) lainnya, biaya yang terjadi di pusat biaya diakumulasikan di kartu biaya pesanan. Ketika pesanan tersebut selesai, biaya per unit dari produk ditentukan dengan cara membagi total biaya yang dibebankan ke kartu biaya pesanan itu dengan jumlah unit yang diproduksi untuk pesanan tersebut. Ketika produk yang diproduksi selama satu periode akuntansi di suatu pusat biaya memerlukan kuantitas dan kombinasi yang berbeda-beda dari sumber daya, perhitungan biaya berdasarkan pesanan (job order costing) merupakan pilihan yang logis karena biaya untuk memproduksi produk yang berbeda tidaklah sama. Dalam perhitungan biaya berdasarkan pesanan, produk yang berbeda dapat diproduksi untuk pesanan yang berbeda dan biayanya dapat ditentukan secara terpisah.
Sebaliknya, ketika semua unit dari produk yang dihasilkan dalam suatu pusat biaya adalah serupa (homogen) pencatatan biaya untuk setiap batch produk yang terpisah tidak lagi diperlukan. Dalam sistem perhitungan biaya berdasarkan proses ( process cost system) bahan baku, tenaga kerja, dan overhead pabrik dibebankan ke pusat biaya. Biaya yang dibebankan ke setiap unit ditentukan dengan cara membagi total biaya yang dibebankan ke pusat biaya tersebut dengan total unit yang diproduksi. Pusat biaya biasanya adalah departemen, tetapi bisa juga pusat pemeosesan dalam suatu departemen. Persyaratan utama adalah bahwa semua produk yang diproduksi dalam suatu pusat biaya selama suatu periode harus sama dalam hal sumber daya yang dikonsumsi, bila tidak, perhitungan biaya berdasarkan proses dapat mendistorsi biaya produk tersebut.
Dalam metode process costing, terdapat beberapa konsep yang perlu dipahami. Konsep tersebut mencakup alur biaya dan pembebanan atas biaya produksi kepada barang yang dihasilkan. Konsep tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Perhitungan Biaya per Departemen
Dalam perusahaan manufaktur, produksi dapat terjadi di beberapa departemen. Setiap departemen melakukan suatu operasi tertentu yang mengarah pada penyelesaian produk. Contohnya, departemen pertama biasanya melakukan proses pekerjaan tahap permulaan atas produk dan kemudian dikirimkan kepada departemen kedua, begitupun seterusnya.
Dalam sistem perhitungan biaya berdasarkan proses, bahan baku, tenaga kerja, dan overhead pabrik umumnya dibebankan ke departemen produksi. Tetapi jika suatu departemen dibagi menjadi dua pusat biaya atau lebih, perhitungan biaya berdasarkan proses tetap dapat digunakan selama unit-unit produk yang dihasilkan dalam pusat biaya selama periode tersebut bersifat homogen. Misalnya saja, suatu departemen produksi yang memiliki empat lini perakitan di setiap lini menghasilkan produk yang berbeda, dapat menggunakan perhitungan biaya berdasarkan proses. Setiap lini perakitan dapat diperlakukan sebagai pusat biaya yang terpisah. Hal ini mengharuskan adanya catatan yang terpisah untuk mencatat biaya yang terjadi di setiap lini perakitan. Kriteria utama untuk menggunakan perhitungan biaya berdasarkan proses adalah identifikasi atas suatu unit bisnis yang memproduksi hanya satu jenis produk setiap kalinya.
2. Aliran Produksi secara Fisik
Suatu produk dapat berpindah di dalam pabrik dengan berbagai cara, yaitu :
Aliran Produk Berurutan ( Sequential Product Flow )
Pada aliran
produk secara berurutan, semua produk di produksi melalui proses yang sama
dalam urutan yang sama. Bahan dip roses mulai dari departemen pertama dan
mengalir melalui setiap departemen bagian yang ada di dalam departemen
produksi. Dapat kemungkinan penambahan bahan langsung dan bahan penolong di
departemen berikutnya setelah departemen pertama.
Dalam
suatu industry sepatu sebagai ilustrasi, produk diproses melalui tiga
departemen secara berurutan, yaitu departemen cutting, departemen swing, dan
departemen assembling. Proses produksi dimulai di departemen cutting, yang mana
biaya bahan, biaya tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik di bebankan.
Selanjutnya setelah selesai dip roses di departemen cutting, produk di transfer
ke departemen swing, yang mana terdapat penambahan biaya bahan, biaya tenaga
kerja, dan biaya overhead pabrik. Apabila produk telah selesai di proses di
departemen swing, produk di transfer ke departemen assembling, yang mana di
departemen yang terakhir ini terdapat penambahan biaya bahan, biaya tenaga
kerja dan biaya overhead pabrik. Berikutnya setelah proses produksi selelsai di
lakukan produk jadi tersebut ditransfer ke gudang produk jadi. Hal ini berarti
produk tersebut siap dijual ke pelanggan. Tampilan berikut merupakan ilustrasi
aliran produk tersebut.
Gambar 6.1 Aliran Produk Berurutan |
Aliran Produk Paralel (Parallel Product Flow)
Pada aliran
produk secara pararel, bagian-bagian tertentu dari tahapan pekerjaan dilakukan
secara simultan dan kemudian digabungkan ke dalam suatu proses atau proses
final untuk diselesaikan dan di transfer menjadi produk jadi.
Gambar 6.2 Aliran Produk Paralel |
Aliran Produk Selektif (Selective Product Flow)
Pada aliran produk secara selektif, produk berpindah antar
departemen bagian yang berbeda dalam satu departemen produksi, tergantung pada
produk akhir seperti apa yang akan dihasilkan. Setiap proses akan menghasilkan
produk akhir yang berbeda-beda. Dalam industry pengolahan daging sebagai
ilustrasi, seluruh proses produksi di mulai di departemen pemotongan. Unit
produk yang dihasilkan di departemen pemotongan. Selanjutnya dikelompokkan menjadi
tiga bagian dan di transfer ke tiga departemen yang berbeda. Pertama, unit produk langsung di
transfer ke departemen pengepakan, untuk selanjutnya di transfer ke gudang
produk jadi. Kedua, unit produk ditransfer kedepartemen penggilingan untuk
digiling. Berikutnya, unit produk tersebut ditransfer ke departemen pengepakan,
untuk selanjutnya ditransfer kegudang produk jadi. Ketiga, unit produk
ditransfer ke departemen pencampuran untuk pemberian bumbu. Berikutnya, unit
produk tersebut ditransfer kedepartemen pengepakan, untuk selanjutnya
ditransfer ke gudang produk jadi.
Gambar 6.3 Aliran Produk Selektif |
3. Aliran Biaya (Cost Flow)
Aliran biaya merupakan aliran nilai barang yang diolah dari mulai input hingga menjadi output. Aliran biaya ini juga berjalan mulai dari input hingga ke output. Setiap input yang dimasukkan kedalam proses produksi pasti memiliki nilai yang diwakili dengan harga barang. Demikian juga dengan raw material, bahan mentah ini pasti memiliki harga pada saat dibeli. Ketika raw material tersebut diolah, diperlukan tenaga kerja atau mesin dan biaya lainnya untuk mengubah raw material tersebut menjadi barang jadi. Tenaga kerja dan biaya lainnya tersebut juga memiliki nilai yang diwakili dengan satuan mata uang. Dengan demikian, ketika finished goods sudah muncul sebagai output, maka seluruh total biaya untuk memproduksi barang tersebut akan terakumulasi kedalam finished goods itu. Seluruh biaya tersebut akan terakumulasi dan membentuk suatu nilai bagi produk akhir. Dengan demikian, jumlah biaya sebagai input harus sama nilainya dengan jumlah biaya yang terkandung dalam produk akhir sebagai output. Dengan kata lain, input biaya harus sama dengan nilai biaya sebagai outputnya.
4. Konsep equivalent unit.
Konsep equivalent unit hanya ada pada process costing. Konsep equivalent unit mengandung pengertian terkait dengan kesetaraan jumlah unit barang yang belum selesai diproses, apabila disetarakan atau dianggap (dipersamakan) sebagai barang yang telah selesai diolah. Konsep equivalent unit muncul karena adanya cut off periodisasi untuk kepentingan pelaporan. Proses produksi akan berjalan secara terus-menerus tanpa mengenal periode cut off. Di akhir periode pelaporan, tentu saja akan ada barang yang masih dikerjakan dan belum paripurna (percentage of completion-nya kurang dari 100%). Barang tersebut dinamakan work in process. Atas barang tersebut tentu harus pula dilaporkan mengenai berapakah jumlahnya. Untuk mengkonversi jumlah barang yang belum jadi tersebut apabila dianggap sebagai barang jadi itulah, maka konsep equivalent unit muncul. Untuk dapat menentukan equivalent unit, maka terlebih dahulu barang dalam proses tersebut harus dinilai atau di-assess terlebih dahulu derajat atau persentase keterselesaiannya (the degree of completion). Proses asesmen tersebut dilakukan oleh manajer produksi atau oleh pegawai yang berkompeten akan hal tersebut, bukan dilakukan oleh akuntan.
Sebagai contoh, misalkan saja PT ABC melaporkan di akhir Januari terdapat 100 unit barang yang masih dalam proses. Dari hasil penilaian atas derajat keterselesaiannya, diketahui bahwa seluruh Direct Material telah diserap oleh barang tersebut. Sementara itu conversion cost yang sudah diserap baru sebesar 60%. Dengan demikian, equivalent unit atas barang tersebut terdiri dari: Direct Material setara dengan 100 unit (100% x 100), Direct Labor setara dengan 60 unit (60% x 100), dan FOH setara dengan 60 unit (60% x 100).
Konsep equivalent unit hanya ada pada process costing. Konsep equivalent unit mengandung pengertian terkait dengan kesetaraan jumlah unit barang yang belum selesai diproses, apabila disetarakan atau dianggap (dipersamakan) sebagai barang yang telah selesai diolah. Konsep equivalent unit muncul karena adanya cut off periodisasi untuk kepentingan pelaporan. Proses produksi akan berjalan secara terus-menerus tanpa mengenal periode cut off. Di akhir periode pelaporan, tentu saja akan ada barang yang masih dikerjakan dan belum paripurna (percentage of completion-nya kurang dari 100%). Barang tersebut dinamakan work in process. Atas barang tersebut tentu harus pula dilaporkan mengenai berapakah jumlahnya. Untuk mengkonversi jumlah barang yang belum jadi tersebut apabila dianggap sebagai barang jadi itulah, maka konsep equivalent unit muncul. Untuk dapat menentukan equivalent unit, maka terlebih dahulu barang dalam proses tersebut harus dinilai atau di-assess terlebih dahulu derajat atau persentase keterselesaiannya (the degree of completion). Proses asesmen tersebut dilakukan oleh manajer produksi atau oleh pegawai yang berkompeten akan hal tersebut, bukan dilakukan oleh akuntan.
Sebagai contoh, misalkan saja PT ABC melaporkan di akhir Januari terdapat 100 unit barang yang masih dalam proses. Dari hasil penilaian atas derajat keterselesaiannya, diketahui bahwa seluruh Direct Material telah diserap oleh barang tersebut. Sementara itu conversion cost yang sudah diserap baru sebesar 60%. Dengan demikian, equivalent unit atas barang tersebut terdiri dari: Direct Material setara dengan 100 unit (100% x 100), Direct Labor setara dengan 60 unit (60% x 100), dan FOH setara dengan 60 unit (60% x 100).
5. Konsep cost per equivalent unit.
Konsep equivalent unit diperlukan untuk menentukan unit manakah yang sudah selesai diolah oleh suatu departemen dan harus dibebani oleh biaya produksi pada departemen tersebut. Selanjutnya, apabila setiap komponen biaya produksi yang dikeluarkan oleh suatu departemen produksi tersebut dibagi dengan jumlah equivalent unit produk yang dihasilkan, maka akan diperoleh cost per equivalent unit. Cost per equivalent unit menunjukkan berapakah nilai biaya produksi untuk setiap satu unit barang yang dihasilkan oleh suatu departemen produksi yang bersangkutan.
Konsep equivalent unit diperlukan untuk menentukan unit manakah yang sudah selesai diolah oleh suatu departemen dan harus dibebani oleh biaya produksi pada departemen tersebut. Selanjutnya, apabila setiap komponen biaya produksi yang dikeluarkan oleh suatu departemen produksi tersebut dibagi dengan jumlah equivalent unit produk yang dihasilkan, maka akan diperoleh cost per equivalent unit. Cost per equivalent unit menunjukkan berapakah nilai biaya produksi untuk setiap satu unit barang yang dihasilkan oleh suatu departemen produksi yang bersangkutan.
6. Metode inventory valuation yang bisa diterapkan
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, dalam proses produksi terdapat alur fisik barang yang diolah. Aliran fisik barang tersebut tentu saja harus dinilai untuk menentukan berapakah nilai atas inventory tersebut (inventory valuation). Hal itu ditujukan untuk pelaporan inventory di neraca. Atas inventory valuation, terdapat 3 metode yang umum digunakan, yaitu FIFO, Weighted Average, dan LIFO.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, dalam proses produksi terdapat alur fisik barang yang diolah. Aliran fisik barang tersebut tentu saja harus dinilai untuk menentukan berapakah nilai atas inventory tersebut (inventory valuation). Hal itu ditujukan untuk pelaporan inventory di neraca. Atas inventory valuation, terdapat 3 metode yang umum digunakan, yaitu FIFO, Weighted Average, dan LIFO.
Metode FIFO mengasumsikan bahwa barang yang masuk pertama kali kedalam proses produksi harus dikeluarkan terlebih dulu sebagai barang jadi. Metode weighted average mengasumsikan bahwa barang yang masuk bercampur sempurna antara barang masuk pertama dan barang yang masuk kemudian. Dengan demikian, barang yang keluar dari proses produksi adalah hasil pencampuran sempurna atas barang yang dimasukkan sepanjang periode proses produksi. Sementara itu, metode LIFO menghendaki agar barang yang masuk terakhirlah yang seharusnya keluar untuk pertama kali sebagai barang jadi.
Dalam process costing, metode atas inventory valuation yang dipakai adalah metode FIFO atau weighted average. Metode LIFO tidak bisa digunakan dalam process costing. Penggunaan kedua metode tersebut dalam process costing tentu saja akan mengakibatkan perbedaan perlakuan pembebanan biayanya. Pada process costing dengan metode FIFO, biaya produksi yang dibebankan pada produk yang dihasilkan adalah hanya atas biaya produksi yang riil dikeluarkan pada periode pelaporan itu saja, tanpa memperhitungkan biaya produksi pada periode sebelumnya yang terkandung dalam WIP beginning. Kebalikannya, pada process costing dengan metode weighted average, biaya produksi yang dibebankan ke produk adalah seluruhnya, yaitu mencakup biaya yang terakumulasi dari periode sebelumnya (WIP beginning) dan biaya yang ditambahkan pada periode yang bersangkutan untuk menyelesaikan produk tersebut.
Dalam process costing, metode atas inventory valuation yang dipakai adalah metode FIFO atau weighted average. Metode LIFO tidak bisa digunakan dalam process costing. Penggunaan kedua metode tersebut dalam process costing tentu saja akan mengakibatkan perbedaan perlakuan pembebanan biayanya. Pada process costing dengan metode FIFO, biaya produksi yang dibebankan pada produk yang dihasilkan adalah hanya atas biaya produksi yang riil dikeluarkan pada periode pelaporan itu saja, tanpa memperhitungkan biaya produksi pada periode sebelumnya yang terkandung dalam WIP beginning. Kebalikannya, pada process costing dengan metode weighted average, biaya produksi yang dibebankan ke produk adalah seluruhnya, yaitu mencakup biaya yang terakumulasi dari periode sebelumnya (WIP beginning) dan biaya yang ditambahkan pada periode yang bersangkutan untuk menyelesaikan produk tersebut.
7. Laporan biaya produksi (cost of production report)
Dalam perhitungan biaya berdasarkan proses, semua biaya yang dapat dibebankan ke departemen diikhtisarkan dalam laporan biaya produksi departemen. Laporan biaya produksi adalah kertas kerja yang menampilkan jumlah biaya yang diakumulasikan dan dibebankan ke produksi selama satu bulan atau periode lain. Laporan tersebut juga merupakan sumber informasi untuk menyusun ayat jurnal ikhtisar guna mencatat biaya dari unit-unit yang ditransfer dari satu departemen produksi ke departemen produksi lain dan akhirnya ke persediaan barang jadi.
Untuk menyusun suatu COPR di suatu departemen produksi dapat digunakan beberapa langkah sebagai berikut:
a. Perhitungkan aliran fisik barang yang terjadi di departemen yang bersangkutan;
b. Hitung equivalent unit untuk periode yang bersangkutan atas departemen tersebut;
c. Tunjukkan biaya produksi yang harus dipertanggungjawabkan oleh departemen tersebut pada periode yang bersangkutan;
d. Hitunglah nilai cost per equivalent unit untuk setiap komponen biaya produksi; dan
e. Lakukan pembebanan biaya kepada output yang dihasilkan oleh departemen tersebut.
a. Perhitungkan aliran fisik barang yang terjadi di departemen yang bersangkutan;
b. Hitung equivalent unit untuk periode yang bersangkutan atas departemen tersebut;
c. Tunjukkan biaya produksi yang harus dipertanggungjawabkan oleh departemen tersebut pada periode yang bersangkutan;
d. Hitunglah nilai cost per equivalent unit untuk setiap komponen biaya produksi; dan
e. Lakukan pembebanan biaya kepada output yang dihasilkan oleh departemen tersebut.
Karakteristik metode proses costing :
1. Proses produksi dilakukan secara terus-menerus (continue)
Business process atas perusahaan ini bersifat memproduksi barang secara kontinyu dari satu periode ke periode berikutnya. Proses produksi tersebut tidak didasarkan pada adanya suatu pesanan atau job tertentu dari para konsumennya. Ada dan tidaknya pesanan atau permintaan langsung dari konsumen tidak menjadi faktor untuk meneruskan atau menghentikan proses berproduksi. Produk yang dihasilkan, baik jumlah maupun model atau jenisnya didasarkan pada survei pasar dan analisis kebutuhan produk yang dilakukan oleh perusahaan. Dengan demikian, perusahaan ini dalam penentuan proses produksinya tidak bersifat consumer driven, tetapi bersifat company driven.
Business process atas perusahaan ini bersifat memproduksi barang secara kontinyu dari satu periode ke periode berikutnya. Proses produksi tersebut tidak didasarkan pada adanya suatu pesanan atau job tertentu dari para konsumennya. Ada dan tidaknya pesanan atau permintaan langsung dari konsumen tidak menjadi faktor untuk meneruskan atau menghentikan proses berproduksi. Produk yang dihasilkan, baik jumlah maupun model atau jenisnya didasarkan pada survei pasar dan analisis kebutuhan produk yang dilakukan oleh perusahaan. Dengan demikian, perusahaan ini dalam penentuan proses produksinya tidak bersifat consumer driven, tetapi bersifat company driven.
2. Perusahaan berproduksi secara mass production
Perusahaan yang hendak menerapkan metode Process Costing hendaknya merupakan jenis perusahaan yang menghasilkan produk akhir dalam jumlah yang besar. Produk akhir dalam jumlah yang besar akan mengakibatkan sulitnya proses pembebanan biaya produksi secara lebih akurat. Berbeda dengan metode Job Order Costing, sedikitnya barang produksi yang dihasilkan berakibat pada mudahnya proses pembebanan biaya produksi ke produk akhir. Akan sangat tidak memungkinkan untuk secara langsung satu-persatu membebankan biaya produksi ke setiap item barang ketika proses produksinya dilakukan secara kontinyu dan dalam jumlah yang sangat besar.
3. Barang produksi yang dihasilkan memiliki sifat/karakteristik yang sama
Selain proses produksi yang kontinyu dan sangat banyaknya barang yang dihasilkan, karakteristik perusahaan yang akan menerapkan process costing adalah bahwa barang yang dihasilkan harus memiliki sifat, karakteristik atau spesifikasi yang sama atau identik. Antara barang yang satu dengan barang yang lainnya tidak memiliki perbedaan sama sekali. Hal ini berbeda dengan metode Job Order Costing dimana produk yang dihasilkan berbeda antara satu dengan yang lainnya, yang disebabkan karena adanya kustomisasi produk atas permintaan dari konsumen. Dalam metode process costing ini, perusahaanlah yang menentukan spesifikasi dan bentuk barang yang akan dihasilkan, dan bukannya konsumen. Dengan demikian, perusahaan akan membuat barangnya dalam jumlah yang besar untuk produk yang sama. Sebagai akibatnya, akan sangat sulit bagi perusahaan untuk membebankan biaya produksi secara langsung untuk masing-masing item perunit spesifik barang yang dihasilkan.
4. Pembebanan biaya secara tidak langsung melalui departemen.
Berbeda dengan metode job order costing, dalam metode process costing biaya produksi tidak dibebankan secara langsung kepada produk akhir. Dalam job order costing, dari awal seluruh input sudah dicatat dan didedikasikan untuk satu unit barang atau satu pesanan tertentu yang spesifik. Berbeda dengan hal itu, process costing tidak akan memberikan tanda khusus pada unit barang yang akan dihasilkannya. Dengan demikian, pembebanan secara langsung ke setiap item produk tidak akan dapat dilakukan. Hal tersebut tidak berarti bahwa kemudian biaya produksinya tidak dibebankan kepada produk akhir. Biaya produksi tetap harus dibebankan ke produk yang dihasilkan, tetapi dengan cara yang berbeda. Metode process costing akan mengumpulkan biaya produksi yang dikeluarkan ke setiap departemen produksi terlebih dahulu. Selanjutnya, biaya produksi dari setiap deprtemen produksi tersebut akan dibebankan kepada unit barang yang dihasilkan oleh setiap departemen tersebut.
Contoh perusahaan yang dapat menerapkan metode process costing adalah perusahaan garmen, yang menghasilkan pakaian jadi untuk dijual kepada para konsumen. Misalkan saja perusahaan pakaian X. Perusahaan ini akan membuat pakaian dengan model-model tertentu secara masal untuk dijual kepada konsumen. Perusahaan X tidak akan menandai produknya yang dijual di pasaran berdasarkan suatu pesanan tertentu dari konsumen tertentu.
B. APLIKASI PENERAPAN PROCESS COSTING
Metode Weighted
Average
|
Metode FIFO
|
|
Perhitungan unit ekivalen
|
Unit selesai
periode berjalan ditambah tingkat penyelesaian unit yang ada dalam pekerjaan dalam proses akhir
|
Unit yang berasal dari awal
periode diselesaikan terlebih dulu ditambah unit yang selesai dari periode berjalan ditambah proporsi
unit persediaan akhir yang telah diselesaikan
|
Perhitungan biaya per unit ekivalen
|
Total biaya diperhitungkan yaitu
biaya yang berasal dari unit awal ditambah biaya periode berjalan
|
Biaya yang
diperhitungkan hanya biaya yang berasal
dari periode berjalan, karena biaya awal periode pasti telah diperhitungkan dalam komponen unit yang selesai
diproses.
|
Transferred- in Costs in Process Costing
Pada umumnya sistem process costing memiliki dua atau lebih departemen
ata proses pada siklus produksi. Ketika unit produk berpindah dari
departemen lain, biaya-biaya yang berhubungan dengan unit tersebut juga
ikut berpindah dengan membuat jurnal.
Transferred in costs (biasa disebut previous-department cost) adalah
biaya yang terjadi pada departemen sebelumnya yang dibawa sebagai biaya
produk ketika unit berpindah ke proses selanjutnya di siklus produksi.
Transferred-in cost selalu selesai 100% diawal proses departemen baru.
Ketika unit di transfer dari satu departemen, unit tersebut menjadi
direct material bagi departemen selanjutnya, tapi disebut transferred-in
cost bukan direct material costs
Sebagai contoh PT Hape pada testing departemen. Ketika proses pada
departemen assembly selesai, kemudian produk akan ditransfer ke testing
departement. Conversion cost ditambahkan selama proses pada departemen
ini. Diakhir proses testing, unit tersebut akan diberikan tambahan
direct material seperti packaging dan lainnya untuk pengiriman produk.
Unit yang telah selesai akan ditransfer sebagai Finished Good
Berikut Datanya:
Physical Unit | Transferred-in Cost | Direct Material | Conversion Costs | |
WIP, beginning (March 1) | 240 | 33600 | 0 | 18000 |
Degree of completion | 100% | 0% | 62,5% | |
Transferred-in during March | 400 | |||
Completed and transferred out | 440 | |||
WIP,ending | 200 | |||
Degree of completion | 100% | 0% | 80% | |
Total Costs added during March | ||||
Direct Materials and conversion cost | 13200 | 48600 | ||
Transferred in (weighted-average) | 52000 | |||
Transferred in (FIFO) | 52480 |
TRANSFERRED IN COST menggunakan WEIGHTED AVERAGE METHOD
Physical Unit | Transferred-in Costs | Direct Material | Conversion Cost | Total | |
Quantity Schedule | |||||
WIP Beginning | 240 | ||||
Added during current period | 400 | ||||
to account for | 640 | ||||
Completed and Transferred (100%;100%) | 440 | 440 | 440 | 440 | |
Ending WIP (0%;80%) | 200 | 200 | - | 160 | |
Accounted for | 640 | ||||
Equivalent unit | 640 | 440 | 600 | ||
Cost charged to Department | |||||
WIP beginning (given) | 33600 | 0 | 18000 | 51600 | |
Cost added during current period | 52000 | 13200 | 48600 | 113800 | |
Total cost to accounted for | 85600 | 13200 | 66600 | 165400 | |
Cost per equivalent unit | |||||
Cost added in current period | 85600 | 13200 | 66600 | ||
divide by equivalent unit | 640 | 440 | 600 | ||
Cost per equivalent unit | 133,75 | 30,00 | 111,00 | ||
Assignment of cost: | |||||
Completed and transferred out | 58850 | 13200 | 48840 | 120890 | |
WIP, ending | 26750 | - | 17760 | 44510 | |
Total cost accounted for | 85600 | 13200 | 66600 | 165400 |
Finished Good | 120890 | ||||
WIP-testing | 120890 |
Untuk mencatat transfer dari testing department ke finished good
TRANSFERRED-IN COSTS menggunakan FIFO METHOD
Physical Unit | Transferred-in Costs | Direct Material | Conversion Cost | Total | |
Quantity Schedule | |||||
WIP Beginning | 240 | ||||
Added during current period | 400 | ||||
to account for | 640 | ||||
Completed and Transferred (100%;100%) | |||||
From beginning WIP | 240 | 0 | 240 | 90 | |
started and completed | 200 | 200 | 200 | 200 | |
Ending WIP (0%;80%) | 200 | 200 | - | 160 | |
Accounted for | 640 | ||||
Equivalent unit | 400 | 440 | 450 | ||
Cost charged to Department | |||||
WIP beginning (given) | 33600 | 0 | 18000 | 51600 | |
Cost added during current period | 52480 | 13200 | 48600 | 114280 | |
Total cost to accounted for | 86080 | 13200 | 66600 | 165880 | |
Cost per equivalent unit | |||||
Cost added in current period | 52480 | 13200 | 48600 | ||
divide by equivalent unit | 400 | 440 | 450 | ||
Cost per equivalent unit | 131,20 | 30,00 | 108,00 | ||
Assignment of cost: | |||||
Completed and transferred out | |||||
WIP, ending | 33600 | 0 | 18000 | 51600 | |
Cost added to WIP beginning | 0 | 7200 | 9720 | 16920 | |
Total from Beginning WIP | 68520 | ||||
Started and Completed | 26240 | 6000 | 21600 | 53840 | |
Total cost unit completed n transferred | 122360 | ||||
WIP, ending | 26240 | 0 | 17280 | 43520 | |
Total cost accounted for | 86080 | 13200 | 66600 | 165880 |
sumber :
Kurniawan, didik. 2017. Buku Ajar Akuntansi Biaya. Tangerang Selatan. PKN STAN.
Carter, william. 2005. Cost Accounting. - . Salemba Empat.
Cak Yan. (2017, Februari). Sistem Perhitungan Biaya Berdasarkan Proses. Diakses tanggal 10 Oktober 2018 dari http://catatanpemulungilmu.blogspot.com/2017/02/sistem-perhitungan-biaya-berdasarkan.html
Novi Octapiani. (2011). Bab 5. Sistem Harga Pokok Proses FIFO. Diakses tanggal 10 Oktober 2018 dari http://www.academia.edu/34877407/Bab_5._Sistem_Harga_Pokok_Proses-FIFO
Komentar
Posting Komentar