CHAPTER 5 & 6 - PROCESS COSTING

A. KONSEP DASAR DAN KARAKTERISTIK TERKAIT METODE PROSES

    Tujuan penting dari sistem perhitungan biaya manapun adalah untuk menentukan biaya dari barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan. Dalam sistem perhitungan biaya berdasarkan pesanan (job order costing), produk dipertanggungjawabkan dalam batch. Setiap batch diperlakukan sebagai pesanan yang terpisah, dan pesanan tersebut merupakan objek biayanya. Semua biaya yang terjadi dalam memproduksi suatu pesanan dibebankan ke kartu biaya pesanan dari pesanan tersebut. Jika pekerjaan untuk suatu pesanan dilakukan di lebih dari satu departemen atau jenis pusat biaya (cost center) lainnya, biaya yang terjadi di pusat biaya diakumulasikan di kartu biaya pesanan. Ketika pesanan tersebut selesai, biaya per unit dari produk ditentukan dengan cara membagi total biaya yang dibebankan ke kartu biaya pesanan itu dengan jumlah unit yang diproduksi untuk pesanan tersebut. Ketika produk yang diproduksi selama satu periode akuntansi di suatu pusat biaya memerlukan kuantitas dan kombinasi yang berbeda-beda dari sumber daya, perhitungan biaya berdasarkan pesanan (job order costing) merupakan pilihan yang logis karena biaya untuk memproduksi produk yang berbeda tidaklah sama. Dalam perhitungan biaya berdasarkan pesanan, produk yang berbeda dapat diproduksi untuk pesanan yang berbeda dan biayanya dapat ditentukan secara terpisah.

     Sebaliknya, ketika semua unit dari produk yang dihasilkan dalam suatu pusat biaya adalah serupa (homogen) pencatatan biaya untuk setiap batch produk yang terpisah tidak lagi diperlukan. Dalam sistem perhitungan biaya berdasarkan proses ( process cost system) bahan baku, tenaga kerja, dan overhead pabrik dibebankan ke pusat biaya. Biaya yang dibebankan ke setiap unit ditentukan dengan cara membagi total biaya yang dibebankan ke pusat biaya tersebut dengan total unit yang diproduksi. Pusat biaya biasanya adalah departemen, tetapi bisa juga pusat pemeosesan dalam suatu departemen. Persyaratan utama adalah bahwa semua produk yang diproduksi dalam suatu pusat biaya selama suatu periode harus sama dalam hal sumber daya yang dikonsumsi, bila tidak, perhitungan biaya berdasarkan proses dapat mendistorsi biaya produk tersebut.

Dalam metode process costing, terdapat beberapa konsep yang perlu dipahami. Konsep tersebut mencakup alur biaya dan pembebanan atas biaya produksi kepada barang yang dihasilkan. Konsep tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1. Perhitungan Biaya per Departemen
    Dalam perusahaan manufaktur, produksi dapat terjadi di beberapa departemen. Setiap departemen melakukan suatu operasi tertentu yang mengarah pada penyelesaian produk. Contohnya, departemen pertama biasanya melakukan proses pekerjaan tahap permulaan atas produk dan kemudian dikirimkan kepada departemen kedua, begitupun seterusnya.
    Dalam sistem perhitungan biaya berdasarkan proses, bahan baku, tenaga kerja, dan overhead pabrik umumnya dibebankan ke departemen produksi. Tetapi jika suatu departemen dibagi menjadi dua pusat biaya atau lebih, perhitungan biaya berdasarkan proses tetap dapat digunakan selama unit-unit produk yang dihasilkan dalam pusat biaya selama periode tersebut bersifat homogen. Misalnya saja, suatu departemen produksi yang memiliki empat lini perakitan di setiap lini menghasilkan produk yang berbeda, dapat menggunakan perhitungan biaya berdasarkan proses. Setiap lini perakitan dapat diperlakukan sebagai pusat biaya yang terpisah. Hal ini mengharuskan adanya catatan yang terpisah untuk mencatat biaya yang terjadi di setiap lini perakitan. Kriteria utama untuk menggunakan perhitungan biaya berdasarkan proses adalah identifikasi atas suatu unit bisnis yang memproduksi hanya satu jenis produk setiap kalinya.

2. Aliran Produksi secara Fisik

    Suatu produk dapat berpindah di dalam pabrik dengan berbagai cara, yaitu :
    
    Aliran Produk Berurutan ( Sequential Product Flow )
     
Pada aliran produk secara berurutan, semua produk di produksi melalui proses yang sama dalam urutan yang sama. Bahan dip roses mulai dari departemen pertama dan mengalir melalui setiap departemen bagian yang ada di dalam departemen produksi. Dapat kemungkinan penambahan bahan langsung dan bahan penolong di departemen berikutnya setelah departemen pertama.

            Dalam suatu industry sepatu sebagai ilustrasi, produk diproses melalui tiga departemen secara berurutan, yaitu departemen cutting, departemen swing, dan departemen assembling. Proses produksi dimulai di departemen cutting, yang mana biaya bahan, biaya tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik di bebankan. Selanjutnya setelah selesai dip roses di departemen cutting, produk di transfer ke departemen swing, yang mana terdapat penambahan biaya bahan, biaya tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik. Apabila produk telah selesai di proses di departemen swing, produk di transfer ke departemen assembling, yang mana di departemen yang terakhir ini terdapat penambahan biaya bahan, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik. Berikutnya setelah proses produksi selelsai di lakukan produk jadi tersebut ditransfer ke gudang produk jadi. Hal ini berarti produk tersebut siap dijual ke pelanggan. Tampilan berikut merupakan ilustrasi aliran produk tersebut. 
Gambar 6.1 Aliran Produk Berurutan
   
   Aliran Produk Paralel (Parallel Product Flow)
  
Pada aliran produk secara pararel, bagian-bagian tertentu dari tahapan pekerjaan dilakukan secara simultan dan kemudian digabungkan ke dalam suatu proses atau proses final untuk diselesaikan dan di transfer menjadi produk jadi.
Dalam insutri mie instan sebagai ilustri, proses produksi antara mie instan dan bumbu-bumbu dilakukan secara parallel. Proses produksi dilakukan di dua departemen, yaitu departemen pencampuran dan departemen pengolahan. Skema proses produksi dimulai di departemen pencampuran, yang mana bahan berupa tepung terigu, telur, mentega, dan bahan lainnya di tambahkan dan dicampur. Biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik juga dibebankan di departemen pencampuran. Selanjutnya setelah selesai diperoses di departemen pencampuran produsk di transfer ke departemen pengolahan, yang mana terdapat penambahan biaya bahan, biaya tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik. Pada waktu bersamaan, proses produksi untuk bumbu-bumbu di lakukan di dua departemen, yaitu departemen penggilingan dan departemen pengepakan. Skema proses produksi dimulai di departemen penggilingan, yang mana seluruh bahan yang merupakan bahan-bahan racikan di tambahkan dan di olah. Biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik juga dibebankan di departemen penggilingan ini. Selanjutnya, setelah selesai diproses di departemen penggilingan, produsk di transfer ke departemen, pengepakan, yang mana terdapat penambahan biaya bahan, biaya tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik. setelah masing-masing proses produksi yang dilakukan secara bersamaan ini di selesaikan, produk-produk yang dihasilkan kemudian di transfer ke departemen pembungkusan untuk di kemas menjadi satu. Biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik juga dibebankan di departemen pembungkusan ini. Produk yang telah selesai di proses di departemen pembungkusan, selanjunya di transfer ke gudang produk jadi. Hal ini produk tersebut siap di jual ke pelanggan.
Gambar 6.2 Aliran Produk Paralel
 

       Aliran Produk Selektif  (Selective Product Flow)
       
       Pada aliran produk secara selektif, produk berpindah antar departemen bagian yang berbeda dalam satu departemen produksi, tergantung pada produk akhir seperti apa yang akan dihasilkan. Setiap proses akan menghasilkan produk akhir yang berbeda-beda. Dalam industry pengolahan daging sebagai ilustrasi, seluruh proses produksi di mulai di departemen pemotongan. Unit produk yang dihasilkan di departemen pemotongan. Selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga bagian dan di transfer ke tiga departemen yang  berbeda. Pertama, unit produk langsung di transfer ke departemen pengepakan, untuk selanjutnya di transfer ke gudang produk jadi. Kedua, unit produk ditransfer kedepartemen penggilingan untuk digiling. Berikutnya, unit produk tersebut ditransfer ke departemen pengepakan, untuk selanjutnya ditransfer kegudang produk jadi. Ketiga, unit produk ditransfer ke departemen pencampuran untuk pemberian bumbu. Berikutnya, unit produk tersebut ditransfer kedepartemen pengepakan, untuk selanjutnya ditransfer ke gudang produk jadi.

Gambar 6.3 Aliran Produk Selektif

3. Aliran Biaya (Cost Flow)
   Aliran biaya merupakan aliran nilai barang yang diolah dari mulai input hingga menjadi output. Aliran biaya ini juga berjalan mulai dari input hingga ke output. Setiap input yang dimasukkan kedalam proses produksi pasti memiliki nilai yang diwakili dengan harga barang. Demikian juga dengan raw material, bahan mentah ini pasti memiliki harga pada saat dibeli. Ketika raw material tersebut diolah, diperlukan tenaga kerja atau mesin dan biaya lainnya untuk mengubah raw material tersebut menjadi barang jadi. Tenaga kerja dan biaya lainnya tersebut juga memiliki nilai yang diwakili dengan satuan mata uang. Dengan demikian, ketika finished goods sudah muncul sebagai output, maka seluruh total biaya untuk memproduksi barang tersebut akan terakumulasi kedalam finished goods itu. Seluruh biaya tersebut akan terakumulasi dan membentuk suatu nilai bagi produk akhir. Dengan demikian, jumlah biaya sebagai input harus sama nilainya dengan jumlah biaya yang terkandung dalam produk akhir sebagai output. Dengan kata lain, input biaya harus sama dengan nilai biaya sebagai outputnya. 

4. Konsep equivalent unit.
   Konsep equivalent unit hanya ada pada process costing. Konsep equivalent unit mengandung pengertian terkait dengan kesetaraan jumlah unit barang yang belum selesai diproses, apabila disetarakan atau dianggap (dipersamakan) sebagai barang yang telah selesai diolah. Konsep equivalent unit muncul karena adanya cut off periodisasi untuk kepentingan pelaporan. Proses produksi akan berjalan secara terus-menerus tanpa mengenal periode cut off. Di akhir periode pelaporan, tentu saja akan ada barang yang masih dikerjakan dan belum paripurna (percentage of completion-nya kurang dari 100%). Barang tersebut dinamakan work in process. Atas barang tersebut tentu harus pula dilaporkan mengenai berapakah jumlahnya. Untuk mengkonversi jumlah barang yang belum jadi tersebut apabila dianggap sebagai barang jadi itulah, maka konsep equivalent unit muncul. Untuk dapat menentukan equivalent unit, maka terlebih dahulu barang dalam proses tersebut harus dinilai atau di-assess terlebih dahulu derajat atau persentase keterselesaiannya (the degree of completion). Proses asesmen tersebut dilakukan oleh manajer produksi atau oleh pegawai yang berkompeten akan hal tersebut, bukan dilakukan oleh akuntan.
Sebagai contoh, misalkan saja PT ABC melaporkan di akhir Januari terdapat 100 unit barang yang masih dalam proses. Dari hasil penilaian atas derajat keterselesaiannya, diketahui bahwa seluruh Direct Material telah diserap oleh barang tersebut. Sementara itu conversion cost yang sudah diserap baru sebesar 60%. Dengan demikian, equivalent unit atas barang tersebut terdiri dari: Direct Material setara dengan 100 unit (100% x 100), Direct Labor setara dengan 60 unit (60% x 100), dan FOH setara dengan 60 unit (60% x 100).

5. Konsep cost per equivalent unit.
    Konsep equivalent unit diperlukan untuk menentukan unit manakah yang sudah selesai diolah oleh suatu departemen dan harus dibebani oleh biaya produksi pada departemen tersebut. Selanjutnya, apabila setiap komponen biaya produksi yang dikeluarkan oleh suatu departemen produksi tersebut dibagi dengan jumlah equivalent unit produk yang dihasilkan, maka akan diperoleh cost per equivalent unit. Cost per equivalent unit menunjukkan berapakah nilai biaya produksi untuk setiap satu unit barang yang dihasilkan oleh suatu departemen produksi yang bersangkutan. 

6. Metode inventory valuation yang bisa diterapkan
    Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, dalam proses produksi terdapat alur fisik barang yang diolah. Aliran fisik barang tersebut tentu saja harus dinilai untuk menentukan berapakah nilai atas inventory tersebut (inventory valuation). Hal itu ditujukan untuk pelaporan inventory di neraca. Atas inventory valuation, terdapat 3 metode yang umum digunakan, yaitu FIFO, Weighted Average, dan LIFO. 
    Metode FIFO mengasumsikan bahwa barang yang masuk pertama kali kedalam proses produksi harus dikeluarkan terlebih dulu sebagai barang jadi. Metode weighted average mengasumsikan bahwa barang yang masuk bercampur sempurna antara barang masuk pertama dan barang yang masuk kemudian. Dengan demikian, barang yang keluar dari proses produksi adalah hasil pencampuran sempurna atas barang yang dimasukkan sepanjang periode proses produksi. Sementara itu, metode LIFO menghendaki agar barang yang masuk terakhirlah yang seharusnya keluar untuk pertama kali sebagai barang jadi.
     Dalam process costing, metode atas inventory valuation yang dipakai adalah metode FIFO atau weighted average. Metode LIFO tidak bisa digunakan dalam process costing. Penggunaan kedua metode tersebut dalam process costing tentu saja akan mengakibatkan perbedaan perlakuan pembebanan biayanya. Pada process costing dengan metode FIFO, biaya produksi yang dibebankan pada produk yang dihasilkan adalah hanya atas biaya produksi yang riil dikeluarkan pada periode pelaporan itu saja, tanpa memperhitungkan biaya produksi pada periode sebelumnya yang terkandung dalam WIP beginning. Kebalikannya, pada process costing dengan metode weighted average, biaya produksi yang dibebankan ke produk adalah seluruhnya, yaitu mencakup biaya yang terakumulasi dari periode sebelumnya (WIP beginning) dan biaya yang ditambahkan pada periode yang bersangkutan untuk menyelesaikan produk tersebut.

7. Laporan biaya produksi (cost of production report)
    Dalam perhitungan biaya berdasarkan proses, semua biaya yang dapat dibebankan ke departemen diikhtisarkan dalam laporan biaya produksi departemen. Laporan biaya produksi adalah kertas kerja yang menampilkan jumlah biaya yang diakumulasikan dan dibebankan ke produksi selama satu bulan atau periode lain. Laporan tersebut juga merupakan sumber informasi untuk menyusun ayat jurnal ikhtisar guna mencatat biaya dari unit-unit yang ditransfer dari satu departemen produksi ke departemen produksi lain dan akhirnya ke persediaan barang jadi.
Untuk menyusun suatu COPR di suatu departemen produksi dapat digunakan beberapa langkah sebagai berikut:
a. Perhitungkan aliran fisik barang yang terjadi di departemen yang bersangkutan;
b. Hitung equivalent unit untuk periode yang bersangkutan atas departemen tersebut;
c. Tunjukkan biaya produksi yang harus dipertanggungjawabkan oleh departemen tersebut pada periode yang bersangkutan;
d. Hitunglah nilai cost per equivalent unit untuk setiap komponen biaya produksi; dan
e. Lakukan pembebanan biaya kepada output yang dihasilkan oleh departemen tersebut.  
 

Karakteristik metode proses costing :

1. Proses produksi dilakukan secara terus-menerus (continue)
Business process atas perusahaan ini bersifat memproduksi barang secara kontinyu dari satu periode ke periode berikutnya. Proses produksi tersebut tidak didasarkan pada adanya suatu pesanan atau job tertentu dari para konsumennya. Ada dan tidaknya pesanan atau permintaan langsung dari konsumen tidak menjadi faktor untuk meneruskan atau menghentikan proses berproduksi. Produk yang dihasilkan, baik jumlah maupun model atau jenisnya didasarkan pada survei pasar dan analisis kebutuhan produk yang dilakukan oleh perusahaan. Dengan demikian, perusahaan ini dalam penentuan proses produksinya tidak bersifat consumer driven, tetapi bersifat company driven.

2. Perusahaan berproduksi secara mass production
Perusahaan yang hendak menerapkan metode Process Costing hendaknya merupakan jenis perusahaan yang menghasilkan produk akhir dalam jumlah yang besar. Produk akhir dalam jumlah yang besar akan mengakibatkan sulitnya proses pembebanan biaya produksi secara lebih akurat. Berbeda dengan metode Job Order Costing, sedikitnya barang produksi yang dihasilkan berakibat pada mudahnya proses pembebanan biaya produksi ke produk akhir. Akan sangat tidak memungkinkan untuk secara langsung satu-persatu membebankan biaya produksi ke setiap item barang ketika proses produksinya dilakukan secara kontinyu dan dalam jumlah yang sangat besar.

3. Barang produksi yang dihasilkan memiliki sifat/karakteristik yang sama
Selain proses produksi yang kontinyu dan sangat banyaknya barang yang dihasilkan, karakteristik perusahaan yang akan menerapkan process costing adalah bahwa barang yang dihasilkan harus memiliki sifat, karakteristik atau spesifikasi yang sama atau identik. Antara barang yang satu dengan barang yang lainnya tidak memiliki perbedaan sama sekali. Hal ini berbeda dengan metode Job Order Costing dimana produk yang dihasilkan berbeda antara satu dengan yang lainnya, yang disebabkan karena adanya kustomisasi produk atas permintaan dari konsumen. Dalam metode process costing ini, perusahaanlah yang menentukan spesifikasi dan bentuk barang yang akan dihasilkan, dan bukannya konsumen. Dengan demikian, perusahaan akan membuat barangnya dalam jumlah yang besar untuk produk yang sama. Sebagai akibatnya, akan sangat sulit bagi perusahaan untuk membebankan biaya produksi secara langsung untuk masing-masing item perunit spesifik barang yang dihasilkan.

4. Pembebanan biaya secara tidak langsung melalui departemen.
Berbeda dengan metode job order costing, dalam metode process costing biaya produksi tidak dibebankan secara langsung kepada produk akhir. Dalam job order costing, dari awal seluruh input sudah dicatat dan didedikasikan untuk satu unit barang atau satu pesanan tertentu yang spesifik. Berbeda dengan hal itu, process costing tidak akan memberikan tanda khusus pada unit barang yang akan dihasilkannya. Dengan demikian, pembebanan secara langsung ke setiap item produk tidak akan dapat dilakukan. Hal tersebut tidak berarti bahwa kemudian biaya produksinya tidak dibebankan kepada produk akhir. Biaya produksi tetap harus dibebankan ke produk yang dihasilkan, tetapi dengan cara yang berbeda. Metode process costing akan mengumpulkan biaya produksi yang dikeluarkan ke setiap departemen produksi terlebih dahulu. Selanjutnya, biaya produksi dari setiap deprtemen produksi tersebut akan dibebankan kepada unit barang yang dihasilkan oleh setiap departemen tersebut.

Contoh perusahaan yang dapat menerapkan metode process costing adalah perusahaan garmen, yang menghasilkan pakaian jadi untuk dijual kepada para konsumen. Misalkan saja perusahaan pakaian X. Perusahaan ini akan membuat pakaian dengan model-model tertentu secara masal untuk dijual kepada konsumen. Perusahaan X tidak akan menandai produknya yang dijual di pasaran berdasarkan suatu pesanan tertentu dari konsumen tertentu.



B. APLIKASI PENERAPAN PROCESS COSTING





Metode Weighted Average
Metode FIFO
Perhitungan unit ekivalen
Unit selesai periode berjalan ditambah tingkat penyelesaian unit yang ada dalam  pekerjaan dalam proses akhir
Unit yang berasal dari awal periode diselesaikan terlebih dulu ditambah unit yang selesai dari periode berjalan ditambah  proporsi unit persediaan akhir yang telah diselesaikan

Perhitungan biaya per unit ekivalen

Total biaya diperhitungkan yaitu biaya yang  berasal dari unit awal ditambah biaya periode  berjalan

Biaya yang diperhitungkan hanya biaya yang berasal dari periode berjalan, karena  biaya awal periode pasti telah diperhitungkan dalam komponen unit yang selesai diproses.






Transferred- in Costs in Process Costing
 
Pada umumnya sistem process costing memiliki dua atau lebih departemen ata proses pada siklus produksi. Ketika unit produk berpindah dari departemen lain, biaya-biaya yang berhubungan dengan unit tersebut juga ikut berpindah dengan membuat jurnal.
Transferred in costs (biasa disebut previous-department cost) adalah biaya yang terjadi pada departemen sebelumnya yang dibawa sebagai biaya produk ketika unit berpindah ke proses selanjutnya di siklus produksi. Transferred-in cost selalu selesai 100% diawal proses departemen baru. Ketika unit di transfer dari satu departemen, unit tersebut menjadi direct material bagi departemen selanjutnya, tapi disebut transferred-in cost bukan direct material costs
Sebagai contoh PT Hape pada testing departemen. Ketika proses pada departemen assembly selesai, kemudian produk akan ditransfer ke testing departement. Conversion cost ditambahkan selama proses pada departemen ini. Diakhir proses testing, unit tersebut akan diberikan tambahan direct material seperti packaging dan lainnya untuk pengiriman produk.
Unit yang telah selesai akan ditransfer sebagai Finished Good
Berikut Datanya:
 
  Physical    Unit Transferred-in Cost   Direct     Material Conversion Costs
WIP, beginning (March 1) 240 33600 0 18000
Degree of completion   100% 0% 62,5%
Transferred-in during March 400      
Completed and transferred out 440      
WIP,ending 200      
Degree of completion   100% 0% 80%
Total Costs added during March        
Direct Materials and conversion cost     13200 48600
Transferred in (weighted-average)   52000    
Transferred in (FIFO)   52480    
 
TRANSFERRED IN COST menggunakan WEIGHTED AVERAGE METHOD
 
 

Physical Unit Transferred-in Costs Direct Material Conversion Cost Total
Quantity Schedule




WIP Beginning  240



Added during current period 400



to account for 640



Completed and Transferred (100%;100%) 440 440 440 440
Ending WIP (0%;80%) 200 200 - 160
Accounted for 640



Equivalent unit
640 440 600






Cost charged to Department




WIP beginning (given)
33600 0 18000 51600
Cost added during current period
52000 13200 48600 113800
Total cost to accounted for
85600 13200 66600 165400






Cost per equivalent unit




Cost added in current period
85600 13200 66600
divide by equivalent unit
640 440 600
Cost per equivalent unit
133,75 30,00 111,00






Assignment of cost:




Completed and transferred out
58850 13200 48840 120890
WIP, ending
26750 - 17760 44510
Total cost accounted for
85600 13200 66600 165400
Finished Good 


120890
WIP-testing



120890
Untuk mencatat transfer dari testing department ke finished good
TRANSFERRED-IN COSTS menggunakan FIFO METHOD
 
 

Physical Unit Transferred-in Costs Direct Material Conversion Cost Total
Quantity Schedule




WIP Beginning  240



Added during current period 400



to account for 640



Completed and Transferred (100%;100%)




From beginning WIP 240 0 240 90
started and completed 200 200 200 200
Ending WIP (0%;80%) 200 200 - 160
Accounted for 640



Equivalent unit
400 440 450






Cost charged to Department




WIP beginning (given)
33600 0 18000 51600
Cost added during current period
52480 13200 48600 114280
Total cost to accounted for
86080 13200 66600 165880






Cost per equivalent unit




Cost added in current period
52480 13200 48600
divide by equivalent unit
400 440 450
Cost per equivalent unit
131,20 30,00 108,00






Assignment of cost:




Completed and transferred out




WIP, ending
33600 0 18000 51600
Cost added to WIP beginning
0 7200 9720 16920
Total from Beginning WIP



68520
Started and Completed
26240 6000 21600 53840
Total cost unit completed n transferred



122360
WIP, ending
26240 0 17280 43520
Total cost accounted for
86080 13200 66600 165880






sumber :

Kurniawan, didik. 2017. Buku Ajar Akuntansi Biaya. Tangerang Selatan. PKN STAN.

Carter, william. 2005. Cost Accounting. - . Salemba Empat.

Cak Yan. (2017, Februari). Sistem Perhitungan Biaya Berdasarkan Proses. Diakses tanggal 10 Oktober 2018 dari http://catatanpemulungilmu.blogspot.com/2017/02/sistem-perhitungan-biaya-berdasarkan.html

Novi Octapiani. (2011). Bab 5. Sistem Harga Pokok Proses FIFO. Diakses tanggal 10 Oktober 2018 dari http://www.academia.edu/34877407/Bab_5._Sistem_Harga_Pokok_Proses-FIFO



Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 1 - MANAJEMEN, KONTROLER, DAN AKUNTANSI BIAYA

CHAPTER 7 - THE COST OF QUALITY